Selasa, 10 Agustus 2010

TRS: Menggagas Puasa Substansial

-- pesan orisinal --
Subyek: Menggagas Puasa Substansial
Dari: Sholihin Amin <menulis49@yahoo.co.id>
Tanggal: 10.08.2010 17.36

Menggagas Puasa Substansial

Penulis: Oleh: Zaprulkhan MSI Dosen STAIN SAS Babel Kandidat Doktor UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
edisi: 28/Aug/2009 wib
Besar kemungkinan kita sudah menahan rasa lapar dan dahaga, tapi barangkali kita
belum menjaga lisan kita dari membicarakan hal-hal yang terlarang dan membuka
aib orang lain

KALAU kita ditanya, apakah ibadah puasa bisa mengantarkan seseorang menemukan
takwa?

Secara positif, kita semua akan menjawab pertanyaan ini dengan nada meyakinkan:
Ya! Tetapi marilah kita rubah pertanyaannya sedikit saja: apakah ibadah puasa
yang kita jalani selama ini sudah membuat kita menjadi orang-orang yang
bertakwa? Jawaban kita barangkali mulai ragu-ragu. Mau dijawab ya, tapi rasanya
kita belum menemukan takwa secara faktual dalam arena kehidupan kita. Namun mau
dijawab belum, kenyataannya sudah seringkali kita bertemu dengan bulan ramadhan.
Kita selalu mengisinya dengan lapar dan dahaga, dengan senandung ayat-ayat
Al-Quran dan shalat tarawih berjamaah, bahkan di akhir ramadhan kita sempurnakan
dengan i'tikaf serta ibadah-ibadah sunnah lainnya. Kalau begitu kira-kira di
mana masalahnya? Puasanya atau kita yang dalam melaksanakan ibadah puasa belum
benar? Karena Al-Quran yang mengatakan bahwa puasa akan mengantarkan kita
menjadi orang yang bertakwa.


Sedangkan Al-Quran merupakan kalamullah yang mengandung kebenaran, maka
masalahnya terletak pada diri kita. Persoalannya, kita baru berpuasa secara
periferal, pada tataran permukaan, belum memasuki puasa substansial, puasa pada
dimensi penghayatan, puasa yang hakiki. Karena itu dalam episode awal Ramadhan
ini, mari kita bicarakan konsep-konsep berpuasa secara substansial, dengan
harapan kita akan meraih takwa dalam bulan yang agung ini.

Dalam perspektif Imam Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, ada enam syarat
yang harus kita penuhi agar ibadah puasa kita mempunyai nilai substantif dan
menjadi orang-orang yang muttaqin.


Pertama, menahan pandangan mata dari hal yang tercela dan dilarang, sehingga
lalai dari mengingat Allah. Menjaga pandangan seperti ini walaupun terlihat
sederhana tapi akibatnya sangat besar. Ia akan memberi bekas pada hati dan
melalaikan kita dari zikir kepada Allah. Nabi kita mengingatkan, "Pandangan itu
merupakan anak panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Siapa yang menahan
pandangannya karena takut kepada Allah, niscaya dia akan merasakan manisnya iman
di dalam hatinya" (HR. Al-Hakim).


Kedua, menjaga lisan dari segala ucapan yang sia-sia, seperti berbohong,
menggunjing, memfitnah, bertengkar, dan membiasakan zikir kepada Allah. Lisan
ini memang ringan sepertinya, tapi berat menjaganya. Mudah mengucapkannya, namun
sulit mengendalikannya. Sampai-sampai Rasulullah mengingatkan kita yang berpuasa
untuk berdiam diri dan tidak membalas walaupun ada orang yang mencaci maki
kita."Apabila seseorang memakimu atau berbuat kurang ajar kepadamu, maka
ucapkanlah: sungguh aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa" (HR. Ibnu Majah).
Beliau melarang kita untuk membalasnya, karena secara psikologis orang yang
sedang berpuasa sensitivitasnya tinggi. Mudah sekali terpancing emosinya,
sehingga dikhawatirkan akan terjadi pertengkaran yang menyebabkan batalnya puasa
yang kita jalani.

Ketiga, menahan pendengaran telinga kita dari segala sesuatu yang dilarang.
Alasannya, sebagaimana kita dilarang untuk mengatakan sesuatu yang terlarang,
kita pun dilarang untuk mendengarkan segala hal yang terlarang. Kata Imam
Ghazali: "Karena segala sesuatu yang haram untuk dikatakan, maka haram pula
untuk didengarkan".


Keempat, menjaga seluruh anggota tubuh kita dari perbuatan maksiat. Menjaga
perut kita dari makanan yang haram saat berbuka puasa. Kita jaga kedua tangan
ini dari menganiaya dan memukul orang lain atau mengambil barang yang bukan
milik kita. Serta menjaga kedua kaki kita dari menginjak-injak hak orang lain
atau melangkah ke tempat-tempat maksiat.

Kelima, hendaklah kita tidak memperbanyak makan makanan yang halal pada waktu
berbuka puasa. Syarat yang kelima ini kelihatannya sederhana, tapi amat penting
sekali. Mengapa demikian? Lapar dan haus yang kita rasakan adalah sarana yang
mengantarkan kita mengenal hakikat kelemahan kita. Selanjutnya, dengan
ketidakberdayaan yang kita rasakan ini akan membuat kita menyadari kafakiran dan
kebutuhan kita kepada Allah. Dari sini, sebagai konsekuensinya akan mengantarkan
kita mengenal siapa Tuhan kita. Pada saat itulah kita memahami dan merasakan
makna sebuah ungkapan: "Siapa yang telah mengenal dirinya, maka sesungguhnya dia
telah mengenal Tuhannya".

Keenam, setelah berbuka puasa, hendaklah hati kita selalu berada di antara cemas
dan harapan. Khawatir kita, kalau ibadah puasa kita tidak diterima oleh Allah.
Takut kita, barangkali ibadah puasa kita banyak tercampuri maksiat sehingga
ditolak oleh Allah. Sebab hakikatnya kita tidak tahu apakah ibadah puasa kita
diterima oleh Allah atau tidak. Namun kita jangan tenggelam dalam samudera
keputusasaan. Bila Allah Maha Adil dan Maha Teliti, maka Allah juga Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahkan kasih sayang Allah mendahului murka-Nya.
"Sesungguhnya Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku".

Dari perspektif ini, kita seharusnya optimis, melabuhkan semesta harapan kepada
Allah Yang Maha Welas Asih. Itulah enam syarat puasa substansial yang
diformulasikan Imam Ghazali agar ibadah puasa kita bisa menjadi sempurna. Keenam
syarat ini hendaknya kita jadikan cermin untuk ibadah-ibadah puasa kita yang
telah lalu. Bila ibadah puasa yang telah kita jalani selama ini belum juga
membuat kita menemukan makna takwa yang sebenarnya dalam kehidupan, mungkin
keenam syarat ini belum kita laksanakan dengan baik.


Memang kita sudah berpuasa dari lapar dan dahaga, tapi mungkin kita belum
mempuasakan anggota tubuh kita dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Kita belum
menjaga kedua mata kita dari sesuatu yang terlarang, memelihara kedua kaki kita
dari tempat-tempat maksiat dan mengendalikan kedua tangan kita dari merampas
hak-hak orang lain.

Besar kemungkinan kita sudah menahan rasa lapar dan dahaga, tapi barangkali kita
belum menjaga lisan kita dari membicarakan hal-hal yang terlarang dan membuka
aib orang lain. Atau mungkin kita sudah merasakan kelemahan dan ketidakberdayaan
kita di siang hari, namun kelemahan dan ketidakberdayaan itu segera kita tutup
dengan makanan dan minuman yang berlebih-lebihan saat berbuka puasa. Kita baru
berpuasa secara periferal, namun belum berpuasa secara substansial. Kalau
demikian yang selalu kita kerjakan dalam menjalankan ibadah-ibadah puasa kita
sebelumnya, maka wajar bila kita belum juga menemukan makna takwa yang hakiki
dalam kehidupan ini.


Oleh karena itu, setelah mengetahui semua ini mari kita praktekkan keenam syarat
tersebut supaya kita bisa menjalani puasa secara substansial. Jika keenam syarat
yang disarankan Imam Ghazali ini kita laksanakan, maka kita akan menemukan makna
takwa yang hakiki, baik dalam Ramadhan maupun di luar Ramadhan.***

__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam? Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam
http://id.mail.yahoo.com